Senin, 17 Juni 2013










Kalau menilik dari serangkaian sejarahnya *yang kita bisa baca dari berbagai sumber* kedua peringatan tersebut memiliki esensi yang sama; sama-sama memiliki semangat kemerdekaan dan perbaikan "nasib" perempuan di Indonesia.

Entah sampai dimana makna dari kedua hari-hari peringatan bagi wanita Indonesia yakni perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dalam aktualisasi diri, penyadaran akan harkat dan martabatnya serta pengentasan masalah-masalah lain-lainnya yang terkait di dalamnya menguap begitu saja.

Boleh-boleh saja sih memperingati hari-hari tersebut dengan mengenakan kebaya atau bersanggul ria dan bukan masalah apakah perempuan di Indonesia semuanya mengenakan kebaya atau tidak, tetapi ternyata nilai-nilai di balik itu semua menjadi berkurang nilainya menjadi sekedar seremonial belaka.

Dan hari Ibu pun tereduksi menjadi sekadar perayaan buat ibu-ibu biasa... mengikuti perayaan mother's day di dunia barat. Semangat yang terkandung dalam perjuangan organisasi wanita ini menjadi lenyap tak berbekas.

Mempertanyakan Mengapa kita merayakan Hari Kartini dan bukan Hari Sartika atau Hari Christina Martha Tiahahu adalah sebuah pertanyaan yang tidak pada tempatnya dan akhirnya menjadi retorika belaka. Semua wanita seharusnya merayakannya dengan membangun dirinya sendiri sebagai seorang yang merdeka dalam artian kebebasan untuk berpikir, menjadi dirinya sendiri serta bertanggung jawab serta tidak sekedar pasrah menerima apa yang dikatakan sebagai kodrat wanita untuk terus menderita. Inilah yang harus diteladani dari peringatan Kartini atau Hari Ibu, karena dibalik itu semua telah banyak pejuang wanita telah berhasil menjadi sosok wanita yang sesungguhnya serta berani mengungkapkan pikirannya.

Mungkin.....
Pertimbangan politik saat itu, untuk mereduksi MAKNA dan PERAN kaum Wanita.
Dipinggirkan bahkan dengan penyerderhanaan: lemah dan tidak mandiri dalam berpikir dan tidak "mampu" memperjuangkan pendidikan, fasilitas kesehatan, kesejahterahan dirinya, anaknya, dan keluarganya. Sederhanakan peran Wanita yang sekedar pelengkap... peran dalam keluarga dan bermasyarakat.
Padahal kenyataannya, banyak Wanita yang menjadi TULANG PUNGGUNG Keluarga, disaat para Pria "Berhalangan-Tetap" dan "ABSEN". [misalnya: PHK, cacat fisik, sakit berkepanjangan, ............., cari istri baru....]


Kartini, Kebaya, dan Emansipasi Wanita Indonesia

Sesederhana itukah Hari Kartini dan Hari Ibu dimaknai di Indonesia?
Kenapa esensi Hari Kartini dan Hari Ibu jadi HANYA sekedar.. lomba masak, lomba kebaya, lomba berpakaian busana daerah, lomba ketrampilan mengurus rumah tangga.... de-el-el

Dari sejarah Penetapan hari Ibu, ternyata maknanya lebih dari sekedar hal-hal domestik. Yakni: Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta

Apa yang terjadi dengan KAUM WANITA?
Pengkerdilan MAKNA?


Menilik sejarah Hari Ibu, diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah
- persatuan perempuan Nusantara;
- pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan;
- pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa;
- perdagangan anak-anak dan kaum perempuan;
- perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita;
- pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya.

Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputu000000000skan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.

Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar