Kalau
menilik dari serangkaian sejarahnya *yang kita bisa baca dari berbagai
sumber* kedua peringatan tersebut memiliki esensi yang sama; sama-sama
memiliki semangat kemerdekaan dan perbaikan "nasib" perempuan di
Indonesia.
Entah sampai dimana makna dari kedua hari-hari peringatan bagi wanita
Indonesia yakni perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dalam aktualisasi
diri, penyadaran akan harkat dan martabatnya serta pengentasan
masalah-masalah lain-lainnya yang terkait di dalamnya menguap begitu
saja.
Boleh-boleh saja sih memperingati hari-hari tersebut dengan mengenakan
kebaya atau bersanggul ria dan bukan masalah apakah perempuan di
Indonesia semuanya mengenakan kebaya atau tidak, tetapi ternyata
nilai-nilai di balik itu semua menjadi berkurang nilainya menjadi
sekedar seremonial belaka.
Dan hari Ibu pun tereduksi menjadi sekadar perayaan buat ibu-ibu
biasa... mengikuti perayaan mother's day di dunia barat. Semangat yang
terkandung dalam perjuangan organisasi wanita ini menjadi lenyap tak
berbekas.
Mempertanyakan Mengapa kita merayakan Hari Kartini dan bukan Hari
Sartika atau Hari Christina Martha Tiahahu adalah sebuah pertanyaan yang
tidak pada tempatnya dan akhirnya menjadi retorika belaka. Semua wanita
seharusnya merayakannya dengan membangun dirinya sendiri sebagai
seorang yang merdeka dalam artian kebebasan untuk berpikir, menjadi
dirinya sendiri serta bertanggung jawab serta tidak sekedar pasrah
menerima apa yang dikatakan sebagai kodrat wanita untuk terus menderita.
Inilah yang harus diteladani dari peringatan Kartini atau Hari Ibu,
karena dibalik itu semua telah banyak pejuang wanita telah berhasil
menjadi sosok wanita yang sesungguhnya serta berani mengungkapkan
pikirannya.
Mungkin.....
Pertimbangan politik saat itu, untuk mereduksi MAKNA dan PERAN kaum Wanita.
Dipinggirkan bahkan dengan penyerderhanaan: lemah dan
tidak mandiri dalam berpikir dan tidak "mampu" memperjuangkan
pendidikan, fasilitas kesehatan, kesejahterahan dirinya, anaknya, dan
keluarganya. Sederhanakan peran Wanita yang sekedar pelengkap... peran
dalam keluarga dan bermasyarakat.
Padahal kenyataannya, banyak Wanita yang menjadi
TULANG PUNGGUNG Keluarga, disaat para Pria "Berhalangan-Tetap" dan
"ABSEN". [misalnya: PHK, cacat fisik, sakit berkepanjangan,
............., cari istri baru....]
Kartini, Kebaya, dan Emansipasi Wanita Indonesia
Sesederhana itukah Hari Kartini dan Hari Ibu dimaknai di Indonesia?
Kenapa esensi Hari Kartini dan Hari Ibu jadi HANYA
sekedar.. lomba masak, lomba kebaya, lomba berpakaian busana daerah,
lomba ketrampilan mengurus rumah tangga.... de-el-el
Dari sejarah Penetapan hari Ibu, ternyata maknanya
lebih dari sekedar hal-hal domestik. Yakni: Konggres Perempuan Indonesia
I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta
Apa yang terjadi dengan KAUM WANITA?
Pengkerdilan MAKNA?
Menilik sejarah Hari Ibu, diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan
Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta,
di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di
Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota
di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah
membentuk
Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Organisasi perempuan sendiri sudah ada
sejak 1912, diilhami oleh
perjuangan
para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya
Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai
Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.
Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu
tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.
Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara
berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju
kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan.
Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah
- persatuan perempuan Nusantara;
- pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan;
- pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa;
- perdagangan anak-anak dan kaum perempuan;
-
perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita;
- pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya.
Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputu000000000skan dalam
Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938.
Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak
kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.
Presiden Soekarno menetapkan melalui
Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.
Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang
semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas
bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari
berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo,
misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang
hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa
untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga
mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah
melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada
tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum
yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung.